Saksikan official trailer Do You See What I See: Cerita Horor #64 First Love di sini.
Penggemar film horor Indonesia pasti familiar dengan film Awi Suryadi, bukan? Salah satu sutradara handal di tanah air ini ingin explore dari film yang hanya ber-genre horor ke kombinasi antara horor dan drama—telah dirilis filmnya—Do You See What I See: Cerita Horor #64 First Love pada 16 Mei 2024. Awi Suryadi mengaku bahwa ia was-was ketika menggarap film ini dan ingin membuat orang lain ikut was-was!
Sudah banyak film Awi Suryadi yang terkenal dan merupakan jebolan box office seperti KKN di Desa Penari dan Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul. Tak diragukan lagi, Awi Suryadi kembali menggemparkan penggemar film horor dengan mengadaptasi cerita Do You See What I See terseram dari podcast milik Mizter Popo yang berjudul “First Love.”
Do You See What I See: Cerita Horor #64 First Love diceritakan oleh narasumber nyata saksi kejadian horor ini, yaitu Vey. Dalam podcast horror Do You See What I See ini, Vey menceritakan sahabatnya, Mawar, yang bukannya jatuh cinta dengan manusia, melainkan sosok pocong bernama Restu. Vey berusaha menyadarkan Mawar atas perilakunya mencintai sesosok makhluk halus dari dunia lain. Di film inilah, Awi berusaha memvisualisasikan itu.
Baca juga: Recorder Nyala Sendiri! Shenina Cinnamon Film Do You See What I See
Bagaimana cara sutradara Awi Suryadi menggarap film Do You See What I See First Love? Simak interview spesial bersama Awi Suryadi berikut ini.
Apa yang membuat Awi Suryadi tertarik untuk menggarap film Do You See What I See First Love?
Awi Suryadi: “Saya penggemar podcast-nya, jadi memang udah tahu, lah, kalau cerita Do You See What I See, tuh, menarik-menarik. Lalu, waktu ditawarin cerita yang “First Love,” saya emang udah ada itch untuk bikin film drama, karena udah sering syuting film horor. Nah, kali ini materinya sangat drama sebenarnya karena tentang mahasiswi yang jatuh cinta untuk pertama kalinya. Saya pikir, ini horor drama—dan bukan cuman drama—love story juga. Memang genre yang saya suka sebenarnya. Jadi, saya sangat tertarik dengan kombinasi cerita cinta, drama, dan horor.”
Ceritakan proses syuting dari pra produksi sampai pasca produksi!
Awi Suryadi: “Pra produksinya tentunya dari naskah. Jadi, kita sempat gonta-ganti penulis, ya, sebelum akhirnya sama Lele Laila. Versinya Lele Laila menurut saya yang paling seperti yang saya bayangkan. Mungkin karena Lele juga seorang perempuan, kan, jadi perspektifnya perempuan banget. Lalu, setelah kita happy dengan penulisnya, proses casting juga cukup lama, tapi sangat-sangat memuaskan. Seperti film-film saya yang sebelumnya, waktu KKN pun saya, kan, selalu idenya mau pakai orang baru. Tentunya kita punya satu yang udah gede gitu, ya, kayak Shenina Cinnamon. Tapi, yang lain saya pingin wajah-wajah baru. Jadi, PR saya ke casting saya juga mau, dong, wajah-wajah baru yang belum terlalu sering kita lihat di film. Dan dapatlah talent-talent baru ini yang sangat mengagetkan performance-nya. Kalau syutingnya cukup susah waktu nyari lokasi kos. Kosan asli kejadiannya, kan, kita nggak bisa pakai. Kalau kosnya kecil, pergerakan kamera juga terbatas. Akhirnya, kita dapat kalau nggak salah kantor pajak yang sudah tidak beroperasional. Kita jadikan itu lokasi kosan. Terus, post production cukup lancar, karena saya pakai tim saya di KTJ, jadi udah tahu taste saya gitu. Kesimpulannya, yang paling susah itu casting, penggodokan naskah, dan cari lokasi.”
Adakah treatment khusus dari Awi Suryadi untuk film ini?
Awi Suryadi: “Ada, cuman baru atau nggak, mungkin saya nggak pernah melakukan ini di film sebelumnya sepanjang ini, ya. Karena, saya pikir, set kita cuman kosan yang sudutnya itu-itu aja. Set-nya lorong lagi, kamar lagi; nggak bisa terlalu banyak shot-nya. Akhirnya, saya berpikir shot-nya harus panjang-panjang, jadi kali ini kamera saya subjective camera banget. Kamera benar-benar jadi mata pemain. Kita banyak melakukan long take, editing-nya lebih sabar, grading-nya juga beda—nggak seperti film horor saya biasanya—yang cuma grading dan cakep. Kalau ini grading-nya lebih ada grain, lebih pucat. Karena kita pingin nyampein kalau cerita cinta ini, ya, cerita cinta yang harus bikin orang was-was.
Bagaimana cara Awi Suryadi explore seluruh karakter yang ada di film?
Awi Suryadi: “Karena kalau dari podcast-nya, kan, karakter aslinya cuman Vey, Mawar, dan Melati. Kita harus tambahin teman-teman kos yang lain—ada Kartika, Dona—lalu kita juga tambahin satu karakter yang paling ngerti dunia mistis, makanya kita create karakter Miss Lin. Karena Vey kita punya narasumber aslinya, jadi berusaha mendekati seperti yang aslinya. Mawar juga berdasarkan apa yang Vey ceritakan ke kita.”
Apa kesulitan menyutradarai film dengan latar tahun di masa lampau?
Awi Suryadi: “Sebenarnya nggak terlalu sulit amat, sih, karena tahunnya nggak sejauh itu, ya, masih 1996. Dan karena kita set-nya nggak lebar-lebar—paling, ya, mobil, belum pakai handphone, kayak recorder juga masih agak gede, ya—nggak bisa terbilang terlalu sulit, sih, kali ini.”
Baca juga: Ketindihan Pocong: Podcast Do You See What I See Pocong Episode 1
Apa adegan tersulit di film ini?
Awi Suryadi: “Mungkin di kuburan, karena secara scene memang panjang. Lalu hujan dan kita tentunya nggak bisa pakai kuburan asli, karena ada adegan ngegali segala, kan. Karena adegannya sangat sulit, jadi kalau di naskah mungkin sebenarnya cuman tiga atau empat scene; tapi kita syuting enam hari dan syuting terbalik, karena adegannya malam, kan. Jadi, kita calling sore, mulai take mungkin jam tujuh, kelar jam lima atau setengah 6 sampai matahari terbit. Itu sangat berat. Saya aja cuman dibalik monitor ngerasa sangat besar, apalagi pemain, kan.”
Apa set yang paling disukai Awi Suryadi?
Awi Suryadi: “Set kuburan. Itu benar-benar kita nggak nyangka bisa dapat lokasi yang semagis itu dan dekat, di Cibubur. Tadinya, kan, pikir cari lokasi-lokasi yang magis biasanya di Jawa, syuting di Jogja—KKN, KTJ di Jogja. Nah, kali ini kita beruntung, sih, dapat lokasi yang cakep di gambar dan dekat, di Cibubur aja.”
Bagaimana pengalaman menyutradarai cast-cast anak muda?
Awi Suryadi: “Seru banget. Dalam artian, very inspiring. Saya suka kalau lihat totalitas mereka. Dulu gue seumuran mereka masih cengegesan. Ini mereka benar-benar they come to work, they do it like a pro. Nggak ada complain, gampang di-direct, apa aja ayo. Sangat-sangat humbling and inspiring, sih.”
Apa makna “Do You See What I See” menurutmu?
Awi Suryadi: “Everything is in the eyes of the beholder. Artinya, yang kita lihat, rasakan, belum tentu sama yang orang lain lihat atau rasakan. Jadi, ya, message-nya adalah kita nggak boleh nge-judge orang, karena mungkin apa yang mereka lihat beda dengan yang kita lihat.”
Mengapa pembaca harus nonton film Do You See What I See: Ceria Horor #64 First Love?
Awi Suryadi: “Buat para penggemar film horor Indonesia, terutama film horor saya, kali ini treatment horor saya sangat beda. Lalu, bukan cuman horor tentunya—ada dramanya juga, love story-nya—itu yang membuat film ini unik.”
Selain proses penggarapan yang cukup memakan waktu yang lama dan panjang, Awi Suryadi juga ingin penonton merasa was-was karena cerita ini. Bagaimana tidak? Cerita yang unik ini dikemas dengan sangat baik oleh Awi Suryadi—di mana seorang gadis jatuh cinta dengan sosok pocong. Ini merupakan film Awi Suryadi yang mengombinasikan antara horor, drama, dan love story.
Penasaran? Nonton film Do You See What I See dengan orang tersayang, serta jangan lupa follow akun media sosial MD Pictures agar tahu berita up-to-date seputar film MD!
MD Pictures (Production House)
Instagram: @mdpictures_official
TikTok: @mdentertainmentofficial
Facebook: MD Pictures
X: @MDPictures
YouTube: MD Pictures
Do You See What I See (Movie)
Instagram: @doyouseewhatisee_md